Forum dan Komunitas Pertanian Indonesia - Agroteknologi.web.id

Forum dan Komunitas Pertanian Indonesia - Agroteknologi.web.id

Forum dan Komunitas Pertanian Indonesia - Agroteknologi.web.id - Sebagaimana kita ketahui bahwa pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam sebuah negara. Kehidupan pertanian yang kuat di negara-negara maju bukan merupakan hasil usaha dalam setahun dua tahun seperti membalik telapak tangan. Perkembangan dan proses tersebut berlangsung lama sejalan dengan waktu dalam sejarah pembangunan di negara-negara tersebut.
<img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSjW-4oDgexnTTOfEjIogQELfizX2j_LaALlkPxlrbwG2Pj4fgI3fbusSrb7TN1m-GiEf9IxBZ-PVS_8r0uveTDJZvt52VzUPiXsTa5MXKXsipR4lv1pxQU7Jvv0zPdGHeOIgwJ5Erlhdu/s1600/Forum+dan+Komunitas+Pertanian+Indonesia+-+Agroteknologi.web.id.png" alt="Forum dan Komunitas Pertanian Indonesia–Agroteknologi.web.id">
Forum dan Komunitas Pertanian Indonesia–Agroteknologi.web.id
Ada slogan yang mengatakan negara akan kuat apabila pertaniannya kuat. Mengingat, pertanian akan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan yang jika tidak terpenuhi maka akan mengancam stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara.

Bahkan di Amerika Serikat sendiri semasa Presiden Abraham Lincoln mengatakan bahwa Amerika Serikat akan menjadi negara besar dan kuat apabila warg negara menjadi pemilik negara itu. Ini sebagai salah satu gambaran perhatian pemerintah terhadap petani agar mempunyai lahan yang cukup untuk bertani dan dapat menghidupkan keluarganya.

Pentingnya Forum Diskusi untuk Petani

Bagi kebanyakan petani, diskusi adalah suatu hal asing yang jarang dan bahkan tidak pernah dilakukan. Namun untuk petani dampingan Pertanian Sehat Indonesia (PSI) hal ini sudah biasa dan menjadi budaya.

Di kelompok tani "Forum dan Komunitas Pertanian Indonesia - Agroteknologi.web.id" atau pertemuan kelompok tani dilakukan satu minggu sekali dan untuk di Induk Kelompok Tani (Inpoktan) sebulan sekali. Agenda pertemuan kelompok tani yaitu membahas perkembangan aktivitas pertanian yang dijalankan dan permasalahan yang dihadapi serta alternatif solusinya.

Disamping itu pendamping program pada waktu tertentu juga memberikan informasi baru atau informasi lainnya yang terkait dengan aktivitas program. Petani pun cukup aktif dalam diskusi kususnya ketika membahas  alternatif solusi terhadap permasalahan pertanian mereka. Seperti pada pertemuan di salah satu kelompok tani beberapa minggu yang lalu. Sajid (petani dampingan PSI) menuturkan dalam diskusi tersebut, “Musim lalu saya kebingungan dan sudah habis cara untuk mengatasi hama walang sangit, berbagai pestisida sudah dicoba namun hasilnya sama saja tidak mempan.”

Akhirnya dia mengambil kertas kosong dan ditulislah ayat Al Qur’an lalu kertas tersebut  dilipat, dibungkus plastik dan dipasang di tengah sawah dengan bambu. ”Alhamdulillah walang sangitnya kabur,” jelasnya. Dan serempak petani yang lainnya pun tertawa riuh. Ya memang demikianlah, kadang petani melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan dilakukan dengan kemantapan hati, hasilnya wallahu a’lam.

Sedang untuk pertemuan inpoktan sebulan sekali agendanya untuk saat ini yaitu fokus di usaha Inpoktan (Koperasi). Beberapa usaha yang direncanakan yaitu pengadaan sarana produksi tani (saprotan), jasa traktor untuk pengolahan tanah, pengadaan hasil tani (gabah dan beras), pengembangan padi sehat dengan akad mudharabah, jasa pembayaran listrik online dan pengadaan sembako.

Melihat permasalahan yang dihadapi serta kebutuhan petani, tentunya sebuah  forum pertanian untuk diskusi seperti kandungan tanah yang subur itu seperti apa? dan juga mengenai masalah peternakan harus dibahas juga karena ini masalah yang sangat penting untuk dilakukan sehingga nantinya akan memberikan manfaat yang besar buat para petani Indonesia.

Langkah Konkret Meningkatkan Produksi Pertanian Berkelanjutan

Menteri Pertanian Indonesia membuka acara Responsible Business Forum on Food and Agriculture ketiga yang diselenggarakan di Grand Hyatt, Jakarta - Indonesia. Menteri Pertaninan membuka konferensi dengan pernyataannya yang kuat. Beliau mengatakan sangatlah penting untuk mengembangkan semua ide dan hasil dari konferensi ini dan Kementrian Pertanian dengan senang hati ingin menjadi mitra untuk melakukannya di Indonesia.

Pentingnya sebuah Forum untuk pembangunan berkelanjutan, khususnya di bidang pangan dan minuman. Kementerian Perindustrian memberikan perhatian yang besar untuk inisiatif-inisiatif yang ramah lingkungan. Bahkan secara hukum, kami menekankan efisiensi penggunaan material, energi dan air, penanganan limbah dan teknologi beremisi rendah. Forum ini sangat penting untuk menghasilkan ide-ide yang akan menjamin pembangunan berkelanjutan bagi generasi yang akan datang.

“Kami mendorong semua perusahaan untuk ambil andil dalam forum ini, karena forum ini menyediakan praktek-praktek terbaik untuk bisnis berkelanjutan dalam pengembangan teknologi, keterlibatan komunitas, kerangka kebijakan, kontribusi penelitian, dan pendekatan kemitraan dalam bidang pangan dan pertanian yang dapat kita pelajari bersama,” kata Shinta Widjaja Kamdani, President of Indonesia Business Council on Sustainable Development (IBCSD) menyatakan dalam pembukaan yang diberikannya.

5 diskusi panel dengan para ahli dari pemerintahan, bisnis dan NGO telah dilaksanakan, memusatkan sesuai dengan tema forum mengenai :
  1. Pangan, 
  2. Peternakan, 
  3. Kehutanan dan Komunitas.
  4. Sebagai tambahan, enam komoditas (kelapa sawit, gula, kopi, jagung, beras dan olahan susu) 
  5. Melaksanakan diskusi kelompok kerja dan menghasilkan ide-ide yang dapat ditindak lanjuti untuk meningkatkan produksi berkelanjutan dari masing-masing komoditas, guna meningkatkan kehidupan para petani dan lingkungan.
Disamping itu dapat kita maklumi bahwa produk hasil pertanian sebagian besar tidak tahan lama, artinya bila tidak dipasarkan dalam waktu dekat, maka produk pertanian tersebut berangsur-angsur akan rusak atau busuk. Dengan demikian bila boleh kita katakan untuk menjadi seorang eksportir hasil pertanian, biasanya berpikir dua kali bila dibandingkan menjadi eksportir non produk pertanian.

Karena resikonya lebih tinggi, katakanlah bila perhitungan dari segi waktu meleset maka kerugianlah yang menanti. Sehingga tidak heran bila kita mendengar atau membaca lewat mass media bahwa eksportir hasil pertanian X tutup dan guling tikar karena faktor Y. Kepada siapa mereka harus menyerahkan kerugian ini? Sederhananya kita katakan, ini sudah menjadi resiko sebagai seorang eksportir.

Sebetulnya bukan itu yang menjadi jawaban yang jitu. Paling tidak, ini menjadi hikmah sebagai bahan kajian dan introspeksi bagi semua pemangku kepentingan yang terkait. Mengingat bukan saja kerugian hanya dialami oleh eksportir, tetapi dampak kerugian ini juga berimbas kepada petani.

Dapat kita maklumi untuk sampai menghasilkan produk pertanian harus melewati proses yang panjang yang harus dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan cost yang tidak sedikit sesuai dengan komoditi yang dikembangkan. Padahal sebagian besar pelaksana, pengelola, dan pemanfaat pertanian itu sendiri adalah jutaan petani kecil yang memiliki modal, kualitas SDM, dan luas lahan yang sangat terbatas.

Menyelamatkan Pertanian Dan Menjamin Kedaulatan Pangan

Belakangan ini terutama sejak krisis harga pangan dimulai 2007 dan kelaparan global yang meningkat hingga 1 milyar orang, dunia terhenyak akan arti pertanian, agraria dan pembangunan perdesaan. Tidak tanggung-tanggung dalam mekanisme PBB tahun 2008 membentuk UN High-Level Task Force on Global Food Crisis.

Sebelumnya yakni tahun 2006 sebenarnya secara global juga sudah ada konferensi Internasional di Porto Alegre, Brasil yang membahas tentang reforma agraria, dan pembangunan perdesaan (ICARRD). Dalam konferensi ICARRD tersebut negara-negara peserta menyadari betapa pentingnya hak atas pangan, akses yang lebih luas atas tanah, air dan sumber alam lainnya (keseluruhan dikenal sebagai agraria). Demikian juga pembahasan global di arena KTT Pangan yang tiap tahunnya digelar di Roma yang terus berambisi mengurangi kelaparan, hingga kini belum berhasil.

Bagaimana di Inonesia? Pemerintah Indonesia sejak awal jauh sebelumnya (khususnya setelah reformasi 1998) sudah menyadari betapa vitalnya pertanian dan agraria tersebut. Untuk itu masih segar ingatan kita ketika pada Pada Sabtu,  11 Juni 2005 di Purwakarta,  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta beberapa menterinya mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) . Program ini merupakan  realisasi dari tiga jalur agenda pembangunan jangka menengah (RPJM) Kabinet Indonesia Bersatu.

Dua strategi lainnya adalah, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen pertahun dicapai melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil untuk membuka lapangan kerja. RPPK juga menetapkankan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan ber-irigasi dan 15 juta hektar lahan kering, total 30 juta hektar. Fokus dari RPPK adalah semata-mata bisnis,  dengan perdagangan dan investasi dianggap jalan utama dan satu-satunya yang akan membawa petani menjadi sejahtera.

Anggapan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar menjadi agenda utama pemerintah. Kemudian pelaku usaha yang didorong untuk melakukan aktivitas agriibisnis adalah melalui korporasi dalam negeri maupun modal asing. Sederhananya pemerintahan SBY ingin men shifting dari pertanian keluarga-keluarga tani dan usaha kecil peredsaan menjadi pertanian yang dikendalikan oleh korporat.

Secara teori istilah korporat (corporate) dikenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada 1957 dengan istilah agribusiness oleh J.H Davis dan R. Goldberg. Mereka mendefenisikan agribisnis sebagai keseluruhan rantai proses pertanian, mulai dari input pertanian sampai ke tingkat eceran  (the entire supply chain, from farm inputs to retail ). Jesper S. Lee dari Virginia, Amerika Serikat, dalam bukunya Agribusiness procedures and records juga menyebutkan bahwa tidak efisien apabila petani memproduksi sendiri benih, pupuk, ataupun mesin pertanian; namun akan lebih mudah apabila dibeli dari agribisnis yang spesialis memproduksi barang-barang tersebut.

Selanjutnya agribisnis akan menimbulkan spesialisasi pada tiap lininya, mulai dari on farm sampai off farm. Agribisnis juga yang mendorong tumbuhnya perkebunan-perkebunan, sampai terjadinya food estate. Melalui agribisnis, pertanian diproduksi secara industri, dalam jumlah sebanyak-sebanyaknya dengan ukuran seragam dan bersifat monokultur.

Agribisnis juga memunculkan free market (pasar bebas) di dunia pertanian, agar tidak muncul hambatan dalam transaksi antar lini agribisnis. Paham free market inilah yang selalu menginginkan untuk menguasai pasar, sehingga bagi yang tidak kompetitif akan kalah dari persaingan merebut pasar. Free Market juga berorientasi untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga produksi ditentukan dari permintaan dan penguasaan pasar.

Hal ini menyebabkan kegiatan bertani bukan lagi untuk kehidupan tapi untuk memproduksi komoditas. Selanjutnya pemodal kuat akan menguasai pasar pertanian sehingga petani kecil hanya menjadi bagian dari elemen agribisnis saja (buruh murah misalnya). Bahkan lebih itu, petani menjadi kelompok yang paling dahulu dan parah bila mengalami kerugian bila cuaca buruk, serangan hama, puso atau gagal panen.

Kebijakan orientasi ekspor, bisnis dan monokultur menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar. Demi kepentingan pasar kebutuhan nasional diabaikan. Sebut saja kasus kelapa sawit yang sebagian besar diekspor yang mengakibatkan harga minyak makan didalam negeri naik pesat. Apa yang terjadi dengan komoditi cabe, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya ketika harga beras dipasar Internasional naik tinggi sekitar Rp. 10.000/kg ditahun 2008, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya.

Sebaliknya ketika harga beras internasional lebih murah dari harga dinasional maka cepat-cepat dikatakan harus segera impor bahkan dengan bea masuk nol rupiah. Akibatnya devisa negara yang begitu besar akan hilang begitu saja menguntungkan korporasi. Sebagai contohnya saat ini (2010-awal 2011), pemerintah melalui Bulog telah mencapai deal impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand.

Berdasarkan hitungan penulis, jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras saja, devisa yang diserap nilainya sekitar Rp4,86 triliun. Terlebih, 1,05 juta ton beras ini setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333.000 hektare sawah. Jika rata-rata per hektare petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras, maka jumlah devisa yang dihabiskan ini setara dengan kehilangan pendapatan 666 ribu kepala keluarga petani di Indonesia.

Perhitungan ini didapat dari asumsi bahwa setiap keluarga petani memiliki 0,3-0,5 hektare.Yang diuntungkan bukan petani-petani didunia ini namun hanya segelintir orang melalui perusahaan-perusahaan multi nasional. Termasuk didalamnya adalah perusahaan  yang menjual benih, pestisida, pabrik pupuk petrokimia, dan alat-alat pertanian.

Demikian juga dengan konsumen mereka nasibnya sama dengan petani, hanya menanti ketidakpastian harga dikarenakan maraknya spekulasi yang secara umum dimudah dengan model pertanian saat ini, dimana negara ikat dalam berbagai perjanjian internasional. Sebut saja misalnya ada WTO, ACFTA, IJEPA, AANZ dan perjanjian perdagangan bebas lainnya baik regional maupun bilateral.

Sisi lain berbagai konflik agraria terus terjadi, PPAN akhirnya tidak bertaji. Hingga sekarang tiada realisasi. Bukan pembaruan agraria yang dijalankan, tapi justru program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah (Larasita) dalam kerangka pasar tanah ala Bank Dunia dan ADB. Sekarang ini menurut BPS (2010) masih ada  31.2 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi orang miskin desa lebih banyak yakni 19,93 juta penduduk dan 11.1 juta penduduk kota.

Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilan kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha.  Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta jiwa dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa. Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. 

Pada tahun 2010 jumlah petani tersebut diperkirakan akan meningkat, seiring dengan agenda korporatisasi pangan dan pertanian pemerintah melalui investor dan perusahaan-perusahaan agribisnis.

Rakyat miskin di Indonesia juga terus bertarung untuk bertahan hidup dengan berbagai tekanan himpitan ekonomi, kenaikan harga pangan pokok. Banyak diantaranya harus berutang, menganti pola makan agar hemat.

Nah, mungkin cukup yang dapat saya bagikan, baca juga yuk Madu Subur Max, Herbal Penyubur Reaksi Cepat


Terimakasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Tentang YeahHost: Penyedia Perkhidmatan Hosting Terbaik di Malaysia

Menulis Artikel untuk Wang: Tips untuk Mengelakkan Keganasan

Kode Promo Diskon Ruang Guru Terbaru Juli 2020